KANG





- KANG -
" Ajari aku tertawa di atas penderitaanku sendiri"
Malam ini alun-alun Tuban dibanjiri manusia. Mereka semua antusias menyaksikan dan mendengarkan penampilan para peserta lomba Festifal Al-Banjari, yang diadakan setiap tahun dalam rangakain hari jadi Kabupaten Tuban.
Nomer urut terakhir adalah grup Al-Ladin, grup sholawat banjari yang paling dinantikan penampilannya, dua tahun sudah mereka menjadi juara bertahan, dan jika malam ini penampilan mereka kembali merebut hati para juri, maka tahun depan mereka tidak diperkenankan mengikuti festival lagi.
Melainkan akan diundang sebagai bintang tamu, sesuai keputusan panitia festival, juara bertahan tiga tahun berturut akan menjadi bintang tamu di festival tahun berikutnya.
“Tepuk tangan yang meriah untuk peserta kita pada malam hari ini, Al-laadiiin … Tafadhol!” seruan MC yang disusul tepuk tangan membahana dari semua fans grup Al-Ladin.
Dengan takzim anggota grup Al-Ladin menaiki panggung, memberi hormat kepada dewan juri lalu duduk sesuai formasi. Sang vokal mengangkat mikrofon, mengatur nafas.
Para penonton berdebar-debar, menerka-nerka lagu apa yang akan dibawakan grup yang memiliki penggemar paling banyak itu.
Para vokal mulai angkat suara, serempak tepuk tangan dari penonton yang memenuhi alun-alun memecahkan malam. Komposisi koor backing suara begitu serasi saat menyenandungkan qasidah burdah, kini suara Sang vokal utama yang kuat dan merdu mulai membius telinga para hadirin untuk masuk kedalam syair memuji Nabi yang terlantun haru.
Para penerbang mengiringi lagu pertama dengan begitu memukau. Tanpa ada salah ketuk atau fals sedikitpun, sholwat pertama sukses mereka persembahkan, dan berhasil membuat para pendengar terpukau.
Lagu kedua adalah lagu yang memerlukan vokal dengan nada tinggi, pada lagu ini semakin terlihat kehebatan suara sang vokal. Tinggi tapi tetap merdu di telinga, sampai lagu selesai. Mata penonton tidak berkedip sedikitpun, menyaksikan sang vokal yang ekspresi wajahnya begitu meresapi perbait sholawat yang ia bawakan.
Itulah kehebatan vokal utama grup Al-ladin yang akrab dipanggil Kang Zay, apa yang dia lantunkan seperti betul-betul ia keluarkan dari hati terdalam.
*_*
Gempita cahaya berwarna-warni membanjiri langit alun-alun malam ini, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, festival banjari selalu ditutup dengan atraksi kembang api.
Setelah ini dewan juri akan berunding, menjumlah nilai, untuk menentukan grup yang akan layak menjadi juara di tahun ini.
“Sambil menunggu juri merekap nilai, kami mohon untuk perwakilan masing-masing grup sudi kiranya untuk naik panggung, memandu sholawat mahalul qiyam pada malam yang indah ini.” Pinta salah seorang panitia lewat pengeras suara. “Kami mohon dengan hormat kepada Kang Zay untuk memimpin sholawat mahalul qiyam.”
Seluruh perwakilan grup manaiki panggung, beberapa mimilih menabuh terbang dan sebagian yang lain memegang mikrofon siapmengambil bagian backing suara.
Sebelum menaiki panggung Kang Zay, sempat melihat wajah seorang perempuan yang sepertinya dia kenal.
“Min, apa itu benar Halimah, atau matuku yang sudah buram?” Kang Zey memastikan sosok yang tertawa dengan timnya tidak jauh dari panggung.
“Oh, iya Kang saya sampai lupa memberitahu, grupnya Halimah memang juga salah satu peserta fesban yang sudah tampil pada hari pertama.” Amin sedikit merasa bersalah
“Aduh!” Zay menekan kepalanya, seperti ada yang sakit ketika nama Halimah terdengar olehnya.
“Kenapa Kang?”
“Ndak papa Min” Sambil mejulurkan telapak tangan, untuk menolak Amin yang ingin membantunya.
Dirogoh saku kanan baju safari putih yang Zay pakai, dan mengeluarkan lima butir pil berwarna putih, kemudian menelannya secara bersamaan.
“Kang Zay, masih sering mengkonsumsi pil itu ya?” Amin heran
“Terpaksa Min, untuk meredakan sakit yang menghujam dadaku”
Pil itu dengan cepat bereaksi, setelah rasa pening agak reda, Kang Zay dengan lebih percaya diri naik ke panggung utama.
Amin tahu betul bagaimana rasanya diposisi Kang Zay, karibnya itu sangat mencintai Halimah mati-matian, hubungan asmara mereka terjalin tahun-tahunan, sejak keduanya duduk di bangku tsanawiyah.
Zay dan Halimah adalah aset terbesar yang dimiliki pondok dalam bidang olah suara.
Namun sayang, entah karena alasan apa Halimah meninggalkan Zay yang banting tulang, mengumpulkan uang untuk melamarnya. Bahkah Halimah tega nikah duluan tanpa sepengetahuan Zay.
Amin mencoba menyadari, mengapa sampai saat ini seniornya. Sosok yang dulu terkenal alimnya, kini malah bergantung pada pil setan.
Apalagi ditambah kepergian sosok yang sangat peduli kepadanya, yang sangat dia sayangi: Ayahnya.
Kepergian dua orang yang menghuni lubuk terdalam Zay, yang menyebabkan pola hidupnya semakin runyam, semakin terpuruk, semakin tidak memiliki arti.
Malam itu, sealun-alun tenggelam dalam sholawat mahalul qiyam, alunan kerinduan kepada Sang Baginda Nabi benar-benar bisa semua orang rasakan, suara Zay begitu menyentuh sampai dasar sanubari.
Memang suara hati seorang nelangsa lebih bisa dirasakan daripada yang hanya melafalkan biasa.
*_*
“Inilah yang kita nanti-nanti, juara pertama festival sholawat al-banjari tingkat provinsi tahun ini adalah …” tegang bercampur debar menjalar ke setiap dada para peserta lomba, di samping panggung personil grup Al-ladin merunduk merapal doa, semoga kemenangan beserta mereka, mengingat para pemenang juara tiga dan dua adalah grup baru, yang baru tahun ini mengikuti lomba, namun kemampuan mereka dalam menyajikan kompoisis sholawat tidak bisa dianggap remeh.
“Sesuai keputusan dewan juri, juara pertama tahun ini adalah …. Grup sholawat Al-laadiiiin” sorak gempita para penonton tak terlakan lagi, personil Al-Ladin loncat kegiranga.
Kecuali Kang Zay, sejak penampakan wajah Halimah tadi, luka lamanya seakan kambuh kembali, sakit hatinya hadir kembali.
Batinya bertengkar antara melihat wajah Halimah yang bertambah ayu, kerinduannya kepada pemilik mata lebar dan bulu mata tebal itu, serta kesadarannya bahwa kini Halimah sudah menjadi milik orang lain, cinta Halimah tercurah hanya untuk suaminya semata. Tidak lagi untuk dia.
Perwakilan anggota menaiki panggung, menerima teropi besar dan sejumlah uang tunai.
Usai berfoto ria, para anggota Al-Ladin harus bergegas kembali ke pondok, sebelum pintu gerbang pondok ditutup, kini sudah pukul 22.40 Wib mereka hanya punya waktu 20 menit. Dengan menumpang mobil pick up, mereka pulang dengan penuh kebanggan.
“Pak sopir saya, turun di warung depan.” Pinta Zay.
Mobil itu lalu menepi di depan sebuah warung, Zay turun. Manan yang juga salah seorang anggota grup Al-ladin membuka amplop, yang berisi lembaran uang tunai hadiah festival.
“Kang Zay, ini buat abang, mohon diterima!” Sambil menyodorkan seratusan ribu empat lembar.
“Tidak perlu Man, simpan saja jatahku untuk kas pondok. Kalau sudah banyak, nanti belikan AC biar tidak gerah kalau siang.” Zay bergurau.
Amin dan para anggota tertawa, membayangkan pondoknya dipasangi AC.
“Tolong diterima, ini kan juga hak Akang!”
“Tidak usah, simpan saja untuk kas. Pakai untuk perbaikan alat kalian”
“Terimakasih Kang"
“Santai saja”
“Kami balik ke pondok dulu Bang, khawatir tidak dapat pintu, asalamu’alaikum!” Amin lalu meloncat ke bak mobil
“Iya, belajar yang rajin!” Zay meneriaki para nggotanya yang melaju pergi, Amin mengancungkan jempolnya.
Semua anggota sangat segan kepada Kang Zay, selaku senior mereka. Zay kini menginjak usia 28 tahun, sedangkan para anggota Al-ladin yang lain rata-rata masih Madrasah Aliyah dan kuliah semester awal. Zay tersenyum di depan warung menatap lekat mobil pick up itu ditelan kegelapan malam.
*-*
Warung itu berdiri tepat di pinggir jalan utama sebelum masuk ke desa dimana pondok pesantren Miftahul Huda berdiri, dengan penerangan yang remang-remang, masih ramai para pengunjung, di teras para lelaki dewasa masih bersenda gurau sambil menikmati sebotol tuak yang mereka tuang secara bergantian ke dalam centak .
Zay menyapa para manusia setengah mabuk itu dengan anggukan sopan, lalu menuju pojok warung, meletakan kopyah putihnya di atas meja, lantas melepas baju safari putihnya.
Tampak tubuhnya yang berotot dan kekar, di bahunya yang yang besar tergambar tato seketsa wanita dengan wajah tanpa senyum datar, di dadanya sebelah kanannya tergambar bunga mawar, tato garaffiti turut memenuhi lengan kirinya, jika dibaca abjad yang ditulis rumit itu berbunyi: untukmu segala cinta Ayah.
Zay menguhunus sebatang rokok dari bungkusnya, lalu menyalakannya.
Asap yang mengepul mulai mengikis wajah Halimah yang Sempat melekat di pikirannya. Ia tuang sebotol tuak yang telah tersaji di depannya.
Menenggaknya sekali, dua kali hingga berkali-kali cairan yang mengandung alkohol itu melewati ke tenggorokannya.
Biasanya Zay hanya akan berhenti, jika sudah merasa melayang, hilang semua beban dalam pikirannya. Tentang peristiwa yang tidak pernah dia inginkan dalam masa hidupnya.
Bersambung .....

Posting Komentar

0 Komentar