Akhirnya nemu juga Buku ini - Jadilah Purnamaku, Ning!
Hem ... Aku punya banyak alasan untuk jatuh hati pada tulisan Bu Nyai satu ini.
Pertama,- Dari kecil saya memang suka sanandika jawa, atau lebih akrab bagi saya dengan sebutan "sesanti jawa". Ajine rogo soko busono, ajine diri soko lathi - Memayung hayuning bhawono – Bheneka Tunggal ika, tan hana dharma mangruwa.
Kedua,- Saya juga suka dengan wayang, bagi saya gambar wayang adalah gambar paling nyeni dari gambar apapun, hingga saya bangga melukisnya untuk sampul buku pertama saya “Asmarandana”. Meski aku baru mencintainya sebagai gambar bukan pesan, bu Nyai lewat bukunya mengantarku untuk tenggelam lebih dalam.
Ketiga,- Saya seorang santri, tentu sangat mengagumi tiap karya tulis yang bernuansa pesantren. Dan bu Nyai ini, tak pernah lepas dari lingkar pesantren dalam tiap tulisannya. Mungkin itu juga yang menjerat saya untuk tetap cinta.
Sayangnya saat buku Hati Suhita terbit awal-awalan, saya tak pernah berani mimpi pingin baca buku itu. Soalnya saya memang suka menghindar dari sesuatu yang berbau ciwi-ciwi. Apalagi buku Suhita, sampulnya saja sudah perempuan, dan keluarnya pun sudah digenggam kaum perempuan..
Apalagi saya tahu dengan mata kepala saya sendiri, dosen saya yang gagah perkasa menenteng buku itu. hadeuuh!
Jadi, tak bayangkan aku sarungan, nintang ningting bawa buku itu seperti bawa buku Negeri 5 Menara. Haduuuhg … ndyak masoookkk pak Ekoo!!
Saya malah kepingin membaca Novel yang berjudul Jadilah Purnamaku Ning, jiwa kanak-kanak ini tertarik dengan sampulnya.
Setelah ngempet-ngempet, nggak betah juga sebab kanan kiri: mulai siswa, ibu-ibu guru yang rata-rata kaum Fatayat, hingga Bapak Guru antusias bahas Suhita, di kantor juga diputer lagu Suhita.
Akhirnya rasa penasaran ini meronta. Sementara, saya gadaikan gengsi, memberanikan diri pinjam dari seorang Bu guru, itupun tidak pinjam secara langsung – melainkan seorang Pak guru, pinjam dari seorang Bu Guru – Sebelum dikembalikan ke bu Guru saya cegat di jalan.
Dan ... saya membaca buku Hati Suhita hanya saat waktu sudah malam, itupun sampulnya saya balik. Biar ndak ketahuan orang.
(Ngapunten bu Nyai, tresnoku kalih jenengan iseh sungkan-sungkan.)
Dan tidak terasa – saya sudah tiba di halaman belakang saat nasib telah menukar seluruh duka Alina dengan manisnya madu saat purnama. Saya sadar telah dibawa kemana-mana oleh tulisan bu Nyai Khilma.
Mulai dari tentang seluk beluk pesantren dengan konflik keluarga dalemnya, segudang cerita wayang yang saya belum pernah tau juntrungannya, retorika organisasi, hingga saya sempat masuk dalam dunia pengantin baru. (Sebuah dunia yang bikin saya merinding dan sering kencing) heheheh
Jaal, Bayangkan!!! satu buku – mengantar kita ke portal-portal yang jarang disentuh manusia, kita tinggal mbaca dan akan tersingkap dengan jelas semuanya.
Sejak itu lagi-lagi saya salah besar – Menilai sesuatu dari luar. Semoga kehfilafan saya bisa menjadi pelajaran berharga untuk hidup ke depan.
*** Dan pada sebuah pagi, usai saya menjalankan tugas seorang santri laki-laki: Subuhan –Ngaji - Ngopi – sarapan –Mandi
Saya menemukan sebuah buku tergeletak di salah satu loker milik teman saya yang hobi baca komik.
- Jadilah purnamaku, Ning -
Wah, rasaku girang bukan kepalang!! Buku yang tak gadang-gadang kini sudah ada digenggaman. Awalnya saya mau menggosob buku itu (pinjam tanpa izin) namun hatiku mengatakan jangan,
“Brow silahi buku iki ya, plliiiss” mohon saya kepada teman.
Raut teman saya nampak keberatan, tapi mulutnya terpaksa “Wokeh”melihat saya yang melas
“Yes!!”
Pagi saya start! Membaca buku yang rampung ditulis tahun 2007 itu, baru dua bab dari jumlah keseluruhan 12 Bab. Saya sudah kepincut dengan para tokoh yang disajikan Nawang Wulan – gadis dari keluarga kejawen, dan Alfin – Gus dari keluarga pesantren.
Tidak jauh dengan Suhita, bu Nyai menulisnya dengan semangat pergerakan, semangat ngugemi adat jawi tenanan, dan memunculkan konsep pesantren yang ideal.
Dengan alur cerita yang menurut pandangan saya (Lagi-lagi seorang Laki-laki, yang hobi membacanya umat-umatan), Novel ini lebih dari keren - dimana ada seoarang laki-laki bernama Yasfha yang memiliki setrategi akurat, menyembuhkan luka batin Nawang yang sempat terauma menjalin asmara, sebab pernah salah menyandarkan seluruh mimpinya kepada Gus Alfin, putra mahkota.
Nawang yang tidak hanya putus hubungan tapi juga hilang arah hidupnya, sebab sempat terjadi penghinaan atas ibunya oleh abahnya Alfin. Seorang kyai yang mendamba mantu seorang putri kayangan, bukan gadis jalanan yang suka wayang.
Yasfha datang dan masuk dalam kehidupan Nawang dengan cara yang begitu laki-laki, hati-hati penuh setrategi. Setara dengan Rengganis yang melepas cintanya dengan cara halus yang begitu perkasa.
Jika menelisik dari remkam jejaknya (Novel Jadilah Purnamaku, Ning: 2007) ini, pantas jika suatu hari karya yang serupa akan hidup subur di hati ibu pertiwi. Khas dan kharismatik.
Meski saya terlanjur pernah mengatakan buku bu Nyai Khilma Anis berjenis kelamin putri - namun tidak bisa dipungkiri membaca karyanya akan selalu membuka mata saya terhadap kenyataan : wong jowo ojo lali jawane, wong lanang pinter-pintero ngemban atine, noto apik keluargane, ngayomi lan ngayemno kekasihe.
Bagi saya membaca karya lama setiap penulis - merupakan keharusan - sebagai tolak ukur, dan pelecut semangat!!!
0 Komentar