“Abah,
Roya izin kepingin ikut ngaji Diniyah, kulo
kangen diajar kaleh Yai Wakhid!”
“Iya,
Nduk.”
Aku
selalu bahagia saat pulang dari pondok. Bukan hanya karena bisa membayar lunas
hutang rinduku pada Abah dan Umi. Melainkan juga rindu kepada para guru-guruku
sewaktu Madrasah Tsanawiyah dahulu. Yai Wakhid salah satunya, guru Aqidatul Awam yang sangat kukagumi.
Kesabaran beliau, keluasan ilmu beliau, dan keramahan saat beliau menerangkan.
Aku
sudah bertanya kepada mbak pengurus kelas Diniyah, mana yang hari ini ada Yai
Wakhidnya, ke situlah aku kini melangkah. Seisi kelas berdiri saat aku datang,
aku menyalami mereka satu persatu. Meminta izin untuk gabung di kelas ini.
“Nggih, silahkan Ning Roya.”
“Maturnuwun sanget sederengpun Mbak-mbak.[1]”
Hatiku
benar-benar telah tidak sabar melihat wajah Yai Wakhid, bagaimana kini beliau,
apakah masih segagah dulu perawakannya. Masih sesegar dulu lawakannya. Aku
menunggu kedatangannya.
Pupus
harapanku, saat yang masuk kelas bukanlah Yai Wakhid, melainkan seorang pemuda,
yang kuyakini dia adalah ustadz baru di Madrasah ini. Sebab aku tidak
mengenalnya, berarti ia masuk setelah aku sudah mondok ke Kudus.
Kecewa,
tetapi apa boleh dikata. Aku sudah terlanjur duduk dan tidak baik bila harus
hengkang, hanya karena ustadz ini bukan sosok yang kuharapkan hadirnya.
Undzur maqol, wala tandzur man qol.
Bukankah
orang itu dilihat dari perkataannya, bukan siapa yang berkata. Maka aku
memutuskan untuk khusuk mendengar layaknya santri yang lain.
“Bismillahi
– kelawan nyebut asmane Allah.
Arrahmani – kang moho welas asih ing
dalem dunyo lan akhirat. Arrahimi – tur
kang welas asih ingdalem akhirat beloko”.
“Minggu
lalu sudah saya jelaskan perbedaan Ar-rahman
dan Arrahim. Arrahman adalah kasih sayang Allah yang bersifat umum, tidak
pandang bulu. Kita semua makhluknya semasa di bumi mendapatkan Rahmannya Allah
semua. Contoh paling mudah orang Islam atau orang kafir, hewan, pohon Allah
cukupi semua kebutuhan hidupnya.”
“Sedangkan
Arrahim adalah, kasih sayang Allah yang
bersifat khusus. Tidak semua makhluk-Nya mendapat Rahim-Nya Allah. Karena Ar-Rahim,
akan Allah berikan kepada hambanya yang beriman dan bertaqwa di akhirat kelak.”
“Ya
tidak jauh dengan kita. Contoh saja, dari semua santri di kelas ini,
mendapatkan jatah kasih sayang saya semua. Tetapi tentu ada beberapa orang yang
menempati tempat khusus di hati saya.”
Seisi
kelas langsung meledak, rame, saling bilang ciyee,
saling menyebutkan nama yang diduga ditempatkan di tempat khusus itu. Aku hanya
diam, dan sedikit membatin, halah, gombal.
“Hust, itu hanya contoh saja. Jangankan
saya, kalian ‘kan juga begitu. Selain menyayangi semua teman kelas kalian. Tapi
kalian tentu punya teman khusus yang porsi sayangnya lebih banyak. Teman
sebangku, teman belajar, atau teman curhat. Iya ‘kan?”
“Teman
sekelas ini yang sampean khususkan, saya yakin. Adalah orang yang dekat dengan
kalian, sering menolong kalian, ada untuk kalian. Bagitu juga dengan Allah,
kalau kalian mau dikasihsayangi dengan khusus maka harus selalu mendekat,
menolong sesama makhluk, dan selalu ingat Allah.”
Pikiran
dewasaku tidak bisa memungkiri cara ustadz ini menerangkan begitu milenial,
serta keramahan saat dia menerangkan. Ah!
“Alhamdu
– utawi sekabehe puji. Lillahi – iku keduhe Allah. Robbil’alamiina – kang menegerani wong alam kabih.”
“Setelah
almushonif[2],
mengawali kitabnya dengan Basmalah. Beliau lalu mengucap Hamdalah. Apakah
kalian tahu kenapa setiap kitab selalu diawali dengan basmalah, dan diakhiri dengan hamdalah?”
Semua
santri terdiam. Sebenarnya aku ingin menjawab, tapi kuurungkan.
“Hem,
apakah kalian tahu tujuan hidup manusia?”
Sekali
lagi para santri bergeming, hanya ada sikut sana sikut sini. Sambil mendengung
entah sedang mendiskusikan apa secara rahasia.
“Sampean
apa tujuan hidupnya?” Ustadz itu menunjuk salah satu santri.
Santri
itu diam.
“Kalau
sampean apa, Mbak? Masak sampean belum punya tujuan hidup?”
“Membahagiakan
orang tua,” jawab santri putri di depanku itu, dengan mantap.
“Iya
itulah tujuan hidup manusia – bahagia. Kalau dipikir-pikir orang bertani,
sampai orang korupsi, karena mereka ingin bahagia. Bahkan membahagiakan orang
tua itu termasuk bagian dari – bahagia kita sendiri. Karena hati kita akan
bahagia – ketika orang tua kita bahagia. Kembalinya tetap ke kebahagiaan kita
sendiri.”
“Maka
dari itu, sebenarnya ilmu paling utama adalah ilmu bagaimana cara bahagia.
Sebab cara orang bermacam-macam. Ada yang nunggu punya mobil dulu baru bahagia,
nunggu bisa jalan-jalan ke luar negeri dulu baru bahagia – itu terlalu rumit.
Cara untuk bahagia adalah bersyukur. Syukur adalah cara bahagia paling mudah.
Karena saat orang bersyukur – saat itu juga dia akan bahagia. Ilmu terpenting
adalah ilmu bersyukur, karena itu menyangkut tujuan utama hidup kita.”
“Mulai
dari sekarang belajarlah bersyukur, belajarlah bahagia. Di Indonesia memang
belum ada disiplin ilmu yang khusus mengajarkan cara bahagia. Tetapi pelajaran
kebahagiaan sudah ada lebih dari 100 sekolah di Jerman. Satu di antaranya
adalah sekolah di Heidelberg, mata pelajaran ini diajarkan oleh kepala sekolah.”
Telingaku
mendengarkan dengan seksama, keluasan ilmunya keramahan tutur katanya. Mataku
memandang teduh wajahnya. Sejak malam itu aku rajin mengikuti ngaji yang diampu
oleh ustadz, yang belakangan ini aku tahu namanya – Ustadz Wakhid.
Entah
ini semesta sengaja atau bagaimana, yang jelas karena kerinduanku pada Yai
Wakhid membuatku masuk kelas yang diajar Ustadz Wakhid. Dari keduanya aku menemukan
keluasan ilmu, keramahan, dan – rindu.
Aku
memikirkannya selalu, aku bisa dikatakan hafal semua keterangan yang ustadz
Wakhid sampaikan. Aku hafal wajah beliau, gaya bicara beliau, sampai cara
berbajunya. Entahlah sebulan terakhir ini, aku menemukan sesuatu yang belum
pernah aku temui.
Dengan
mengumpulkan keberanian, aku matur
kepada umi tentang perasaanku kepada Ustadz Wakhid.
“O,
jadi kamu sregep ikut ngaji gara-gara
ustadz Wakhid?”
“Nggih,
Umi,” jawab Roya malu-malu.
“Alhamdulillah,
kalau kamu suka Ustadz Wakhid. Dia itu calon kakak iparmu, abah sudah lama
berencana menjodohkan mereka berdua. Doakan Mbakyumu cepet khatam, umi juga khawatir. Orang seperti Wakhid susah dicari,
jangan sampai lepas.”
Pupus
sudah tunas cinta, sebelum dia sempat membuka daun yang pertama.
[1]
Terimakasih sangat sebelumnya Mbak-mbak.
[2] Pengarang kitab
Gambar: https://id.pinterest.com/
Alief Irfan, santri Ponpes Manbail Huda dan lulusan SMO
Mitra Karya yang aktif di dunia literasi . Karyanya telah dimuat di berbagai
media masa dan terbit menjadi beberapa buku., Fb: Alief Irfan Ig; @alief_irfann

0 Komentar