- SHINTA -
/1/
Mumpung masih pagi, ingatanku masih bekerja secara sempurna ...
Kemaren aku cerita sampai pada dimana aku mendapat salam dari Shinta.
Tentu hal ini satu mengejutkanku, dua membuatku bingung, dan ketiga membuatku bahagia.
Seperti normalnya manusia aku katakan "Salam balik."
Kawanku yang dititipi salam (sebut saja namanya Zahid) nampak menyiratkan senyum curiga. Setelah aku menitipkan salam kembalian kepadanya untuk Shinta.
"Shinta kondo aku. Jane dekne ape tresno karo awakmu. Tapi gak sido, soale keciliken."
Wajahku yang semula senyum menjadi tegang, aku tersinggung. Oke, aku tidak menutupi kemungkinan kalau Shinta adalah kakak kelasku. Tapi hal ini tidak seharusnya diucapkan, bukan?
Aku menarik napas panjang, kepada Zahid aku mengulurkan senyum sebelum aku pergi meninggalkannya dan meninggalkan perbincangan tentang Shinta.
/2/
Besoknya, saat jam istirahat Zahid dan satu temannya (sebut saja Zuhud). Mendatangiku di kelas X IPA. Waktu itu jam kosong.
Dua kakak kelas yang berpostur tinggi-tinggi itu. Merangkul dan mengajakku keluar kelas. Sebagai siswa baru dan demi rasa hormatku kepada kakak tingkat, aku manut saja.
Saat sudah di teras Zahid baru bilang kalau Shinta ingin bertemu denganku. Aku dengan tegas menolak, mengingat kejadian kemaren. Juga kesiapanku yang belum cukup untuk menghadapi perempuan empat mata.
Namun sial Zuhud memaksaku, aku digelandang ke kelas XI yang dalam kondisi kosong. Hanya ada satu perempuan duduk di kursi ke dua dari belakang.
Zahid dan Zuhud melemparku masuk dan menutup pintu dari luar.
Perempuan itu adalah Shinta, dengan matanya yang tajam, ia melihatku yang sedang merapikan pakaianku yang berantakan akibat tadi digelandang-glandang.
Shinta berdiri dan berjalan ke arahku. Aku tidak berani terlalu melihatnya. Pandanganku, kuputar ke seisi ruang kelas.
Shinta semakin dekat, aku mencoba berdiri tegak meski tetap gemetar. Shinta semakin mendekat aku melangkah mundur sampai kakiku menyentuh tembok. Aku terpojok. Dengan Shinta tepat di depanku. Tinggi kita sejajar.
Aku memberanikan diri menatap wajahnya yang nampak sedang memikirkan sesuatu hal. Kami saling diam beberapa detik dalam ketegangan. Hingga akhirnya Shinta berhasil mengucapkan satu kalimat.
Yang kalimat itu membuatku seakan mati berdiri. Aku diam, tidak bisa menanggapi apapun. Ia ulangi lagi kalimat yang tadi. Dengan gaya berdiri di depanku seperti preman menagih uang setoran.
"Lief, aku tresno awakmu."
Sekali lagi aku diam. Mingkem.
Shinta dengan lebih berani lagi, mengulangi kalimat itu ke tiga kalinya.
"Lief, aku tresno karo awakmu. Gelem karo aku tora?" Ia menjulurkan jari kelingkingnya tepat diantara wajahku dan wajahnya. Kelingking itu adalah tanda agar aku menjawab pertanyaan saat itu juga.
Entahlah apa yang aku pikirkan dan rasakan saat itu. Yang jelas jawabanku berdasarkan dua hal. Pertama, aku melihat wajah Shinta yang biasanya garang tiba-tiba memelas, ia nampak begitu serius saat itu.
Yang kedua adalah, aku memang sedang butuh seseorang untuk mengisi hatiku yang sempat meratap sebelum aku pergi ke pondok ini (Setelah cerita tentang Shinta selesai, aku akan jelaskan secara terperinci alasan kedua ini)
Dengan dua dasar itu, tiba-tiba wajahku dengan sendirinya menerbitkan senyum. Dan kepalaku secara otomatis mengangguk.
Aku melihat Shinta tersenyum lega, dengan mantap kulingkarkan kelingkingku ke kelingkingnya dengan mengucap "Sepakat."
Tidak ada kalimat lagi setelah itu, aku hanya melihat mata Shinta yang mengembun. Aku pun langsung membuka pintu yang sudah tidak terkunci dari luar. Di sepanjang teras Zahid, Zuhud dan kawan sekelasnya sedang duduk seperti sedang menungguku.
"Piye?" Sapa Zahid yang langsung menodongku.
Aku tersenyum.
Zahid dan kawan-kawan paham jawabanku. Mereka langsung bertepuk tangan, dan memberikanku ucapan selamat secara bergantian.
Saat aku menengok ke belakang, tepat saat bel pulang berdering. Dan ada Shinta yang mengusap matanya dengan ujung kerudungnya.
Aku melihatnya 'kalau seperti itu, dia kog kelihatan seperti perempuan ya!' batinku.
Tidak ada adegan lain setelah itu, seperti jalan pulang berdua, dan lain-lain.
Kami kembali ke asrama sendiri-sendiri. Dia dengan kawan sekelasnya, aku dengan kawan sekelasku.
/3/
Itu hanya satu-satunya adegan mengharukanku dan Shinta. Karena setelah itu hanya ada hal-hal pahit dan lucu.

0 Komentar