Sebuah angkot hijau pupus jurusan Pangkur, terus melaju menembus
kemacetan di bawah teriknya siang. Penumpang yang sesak menciptakan perpaduan
aroma keringat dan bau ikan laut yang begitu menggangu pernafasan, seorang
gadis duduk di bangku tengah menutup rapat mulutnya dengan ujung kerudung.
Kepalanya terasa semakin pening, mendengar gemuruh suara emak-emak pedagang
ikan dan penumpang lain.
“Kiri Pak!” Teriaknya tidak sabar ingin segera turun di sebuah
pertigaan jalan menuju Kecamatan Maskumambang.
Sang gadis lalu mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan,
menyerahkannya kepada kernet yang sedari tadi menggantung di pintu angkot. Setelahnya,
angkotpun kembali mengebut kencang, membuat sang gadis seperti seorang pesulap
yang tiba-tiba muncul dibalik asap tebal dengan terbatuk-batuk.
Di sebrang jalan segerombolan pemuda mengenakan sarung dan peci
hitam, sedang duduk jongkok di sebuah warung kopi, ditanganya ada beberapa
lembar kartu remi, wajah clontengan tepung,
dan di telinganya menempel penjepit baju beraneka warna. Salah satu pemuda,
rupanya sedang menyoroti gadis tadi dengan pandangan penuh prasangka. Dia
seperti mengenal si gadis.
“He, Din ayo giliran kau!” Salah
satu pemain mengingatkan Udin yang bengong menatap jalan raya.
“Aku seperti kenal gadis dengan
gamis hijau di sebrang jalan itu.” Sambil menunjuk ke arah gadis yang duduk di
halte dan sibuk dengan smartphonnya
“Kau jangan sok kenal, dan mencari
alasan agar bebas dari jongkok Din!”
“Suwer
aku tidak asing dengan wajahnya, tapi aku lupa” sejenak hening, “Oh, aku
ingat, itu Nur Halimah”
“Hah, Nur Halimah!” Suara serempak
para pemain remi yang kaget. Bersama mereka mengucek mata, memastikan benarkah
itu Nur Halimah.
“Aku yakin betul itu Nur Halimah,
tahan sebentar, aku akan memberitahukan kabar gembira ini kepada Kang Burhan”.
Udin lalu melompat dari arena remi,
mendirikan vespanya yang tergeletak sembarangan dan memancal mesin tua itu
dengan semangat penuh. Ini akan menjadi kabar paling membahagiakan sahabatnya,
Nur Halimah gadis yang dicintai kang Burhan sejak dahulu kala, kini telah
menampakan wajahnya kembali, setalah keboyongnnya dari pondok tujuh tahun lalu,
ia menghilang tanpa seorangpun yang tahu keberadaan dan kabarnya.
“Kang Burhan!” Udin berteriak dari
ambang gerbang pondok.
Kang Burhan yang sedang kerja bakti
dengan kawan-kawannya terpingkal-pingkal, melihat tampilan Udin yang masih clontengan tepung, lengkap dengan
penjepit baju di telinganya.
“Aku melihat Nur Halimah di jalan
raya Kang” Teriak Udin lebih keras
Seketika kang Burhan menutup mulut,
wajahnya berubah saat nama Nur Halimah disebut. Jantungnya mendadak berdetak lebih
cepat, nama itu terlalu sakral ia simpan dalam relung bantin paling dalam.
Mengapa kini ada orang yang membangunkannya ke permukaan, tubuhnya gemetar,
cangkul yang ia pegang lebas dari genggaman.
“Kau jangan bercanda Din” Kang
Burhan mendekati Udin.
“Aku sangat serius Kang” Sambil
mengangkat dua jarinya, meyakinkan.
“Kau melihatnya dimana?”
“Di halte dekat pertigaan menuju
Kecamatan Maskumambang”
Burhan segera mengambil sepedah
onthelnya, dan mengayuhnya sekuat tenaga. Ada rindu dalam dirinya yang ingin
bertemu pemiliknya, hadiah fatihah yang ia kirim setiap malam agar lekas
dipertemukan, akhirnya tidak sia-sia.
Ia kayuh sepedahnya dengan kecepatan tinggi, air matanya luruh
sangat deras. Tidak sampai lima menit, Burhan sudah berada di tepi jalan raya,
rame dan macet. Namun tidak akan pernah bisa menghalangi perjumpaan yang agung
ini, dengan onthelnya dia menerobos mobil angkutan berat agar bisa segera
sampai di halte yang dimaksud Udin.
Burhan yang sudah tergesa ingin
melihat wajah kekasih yang hilang sekian lama, harus bersabar karena ternyata
habis ada kecelakaan. Dimana sebuah mobil kontener telah terguling di pinggir
jalan. Dada Burhan semakin tidak karuan saat melihat orang-orang bingung, fokus
Burhan mencari Nur Halimah terganggu. Dia menyapu pandang satu persatu
kerumunan orang yang mengerubung korban kecelakaan. Namun tetap tidak ada.
Nyawa Burhan seakan tercerabut dari
raga, ia mati rasa saat melihat halte yang dimaksud Udin telah roboh. Hatinya
membantah pikiran buruk, dengan sisa nyali dia menerobos orang-orang untuk
melihat korban kecelakaan itu. Dan benar, sosok perempuan dengan gamis hijau
terbujur kaku, wajahnya penuh darah dengan beberapa gigi telah patah.
Burhan yang menyadari itu adalah Nur Halimah langsung menjerit
histeris, menangis namun tidak lagi bisa menitihkan air mata. Pikirannya
hilang, tanpa sadar dia menggenggam erat tangan Nur Halimah yang juga penuh luka
dan darah.
“Kang Burhan …. Kang Burhan” desis tangis Nur Halimah yang
berusaha membuka sedikit matanya dan berhasil menangkap wajah Burhan.
Burhan malah syok, dia seperti sudah tidak memiliki tenaga untuk
melanjutkan hidup lagi. Namun karena orang-orang menyangka, hanya Burhanlah
satu-satunya orang yang mengenal Nur Halimah. Maka dialah yang diminta polisi
mengantar korban ke rumah sakit, untuk segera mendapatkan perawatan.
Di rumah sakit, Nur Halimah langsung
di masukan ke IGD. Sedangkan Burhan diminta petugas RS untuk melengkapi
administrasi. Burhan yang masih hafal betul nama lengkap, tanggal lahir, alamat
lengkap, nama orang tua, dan semua data Nur Halimah lainnya. Burhan dengan
mudah menyelesaikan persyaratan mendapat tindakan medis.
Air mata Burhan tumpah, saat perawat
membersihkan darah pada bagian tubuh Nur Halimah yang sobek. Nur Halimah begitu
nampak kesakitan, melihat hal itu hati Burhan lebih sakit.
Polisi Satlantas, meminta keterangan Burhan atas peristiwa
kecelakaan ini, yang malah membuat Burhan semakin bingung. Sedangkan Nur
Halimah harus segera dimasukan ke ruang radiologi untuk pengecekan luka dalam.
Burhan lagi-lagi yang diminta
petugas untuk menemani Nur Halimah masuk ke ruang radiologi, hatinya lagi-lagi tersayat.
Tidak kuasa melihat Nur Halimah yang baru bisa sadar, harus di paksa gerak
untuk memenuhi posisi yang tepat untuk pengambilan gambar.
“Bapak, bisa minta tolong melepas
anting di telinga ibuknya” Pinta petugas.
Dengan sangat hati-hati Burhan
melepas anting dari telinga Nur Halimah.
“Cincin yang dijari juga bapak”
Burhan sempat kaget, saat Nur
Halimah tidak berkenan cincinnya dilepas. Namun ini bukan waktu yang tepat
untuk mempermasalahkan itu.
“Terimakasih pak, anda dipersilahkan
keluar!” pinta petugas untuk menghindarkan Burhan dari bahaya paparan radiasi.
Di depan pintu ruanganan, Burhan
mendekap jilbab Nur Halimah yang bersimbah darah dengan penuh perasaan
khawatir. Bibirnya terus membaca sholawat untuk keselamatan Nur Halimah. Air
matanya terus turun membasuh rindunya yang berujung nestapa.
Dari koridor ruang IGD sepasang
bapak dan ibu, serta satu pemuda datang dengan begitu tergesa. Ternyata itu
adalah keluarganya Nur Halimah. Burhan agak sedikit lega, akhirnya keluarganya
datang juga.
Setelah sekian lama menunggu dengan
penuh kecemasan, Nur Halimah akhirnya keluar dari ruang radiologi dan kembali
dibawa ke ruang IGD untuk dipasang infus dan mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Nur Halimah yang sudah sadar akhirnya bisa sedikit menjelaskan
dengan pelan kepada semua orang yang datang menjenguknya, bahwa saat Mobil
Kontener itu oleng lalu akhirnya menabrak pohon waru di dekat halte dan guling,
dirinya berlari ingin menghindar namun keburu tersungkur ke aspal dan tertimpa bangunan
halte.
Burhan mengeluarkan anting Nur
Halimah yang masih ia bawa, lalu menyerahkanya kepada ibunya. Ibu kemudian
menjelaskan, sebenarnya Nur Halimah ingin datang ke pondok untuk memberikan undangan
pernikahnnya, kepada teman-temanya yang masih mondok. Dan cincin di jemari manis
Nur Halimah adalah janji yang melingkar sejak pertunangannya dengan laki-laki
yang sempat Burhan sangka adalah saudaranya Nur Halimah.
Burhan yang berdiri dengan baju
masih bercorak bekas darah Nur Halimah, hatinya tersesat antara terluka dan
bahagia. Udin dan kawan-kawan lainnya mendekap badan Burhan, menguatkan.
“Terimakasih sebanyak-banyaknya
kepada nak Burhan atas pertolonganya, untung ada nak Burhan saat kejadian. Jadi
Nur Halimah bisa segera ditangani”
“Ya buk sama-sama, Ibu yang sabar
ya!” Jawab Burhan yang tak sabar ingin pulang.
Jenu, 04 Maret 2020
Al-Fakir
Alief Irfan

0 Komentar